PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA
Oleh : Ferry .Coeman .Papilaya
A. Partai Politik
Partai
politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau
dibentuk dengan tujuan khusus. Bisa juga di definisikan, perkumpulan
(segolongan orang-orang) yang seasas, sehaluan, setujuan di bidang politik.
Baik yang berdasarkan partai kader atau struktur kepartaian yang dimonopoli
oleh sekelompok anggota partai yang terkemuka. Atau bisa juga berdasarkan
partai massa, yaitu partai politik yang mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan
jumlah anggotanya.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), partai politik berarti perkumpulan yang
didirikan untuk mewujudkan ideologi politik tertentu. Dalam sejarah Indonesia,
keberadaan Partai politik di Indonesia diawali dengan didirikannya organisasi
Boedi Oetomo (BO), pada tahun 1908 di Jakarta oleh Dr. Wahidin Soediro Hoesodo
dkk. Walaupun pada waktu itu BO belum bertujuan ke politik murni, tetapi
keberadaan BO sudah diakui para peneliti dan pakar sejarah Indonesia sebagai
perintis organisasi modern. Dengan kata lain, BO merupakan cikal bakal dari
organisasi massa atau organisasi politik di Indonesia.
B. Perkembangan Partai Politik
dan Pemilu di Indonesia
1. Partai Politik pada Masa
Penjajahan Belanda.
Kepartaian
yang terjadi di Indonesia, sudah mulai tumbuh dan berkembang sejak masa
kolonial Belanda, untuk hal yang menarik untuk disimak dalam buku ini, dimulai
dari kepartaian ini dari sejak masa penjajahan Belanda. Kita akan mundur ke
belakang (flash back) guna mengetahui perkembangan partai-partai politik pada
masa penjajahan. Partai-partai politik pada masa penjajahan merupakan embrio
bagi tumbuh dan berkembangnya partai-partai politik pada saat ini. Perkembangan
partaipartai politik pada masa penjajahan dapat kita bedakan dalam dua kelompok
besar, yaitu pada masa penjajahan Belanda dan pada masa pendudukan Jepang.
Secara
umum pembahasan masalah kepartaian ini terdiri dari tiga pembahasan. Dimulai
dengan pembahasan mengenai partai politik pada masa penjajahan, pembahasan
mengenai jumlah partai politik, dan pembahasan mengenai partai-partai politik
pada zaman Jepang. Adapun tujuan buku Drs. Edward Mandala, M.Si. ini adalah
menjelaskan pertumbuhan dan perkembangan partai-partai politik pada masa
penjajahan Belanda dan Jepang.
2. Partai Politik pada Masa
Pendudukan Jepang
Setelah
Perang Pasifik berjalan 3 bulan, pada bulan Maret 1942, tentara Jepang dipimpin
oleh Jendral Imamura mendarat di Pulau Jawa. Dengan semboyan “kemakmuran
bersama” dan “Asia untuk bangsa Asia”, banyak di antara pemimpin-pemimpin
Indonesia yang terpikat hatinya oleh Jepang, sebab percaya pada propagandanya
yang mengadakan Perang Suci.
Padahal
kedatangan bangsa Jepang yang sesungguhnya adalah menggantikan kedudukan
penjajahan Belanda. Saat itu, partai politik dilarang, kecuali Masyumi boleh
berkembang. Untuk memuaskan bangsa Indonesia, Jepang mengatur strategi yaitu
kota-kota di Indonesia yang sejak zaman Belanda diganti dengan nama Belanda,
lalu diganti lagi dengan nama Indonesia asli.
Ketika
Jepang berkuasa di Nusantara, mereka bertindak sewenang-wenang, berbuat sangat
kejam dan hidup kemewahan, sedangkan ribuan rakyat Indonesia yang mati
kelaparan dan dipaksa menjadi budak romusha banyak yang menderita. Beberapa
golongan bangsa Indonesia yang tidak tahan lagi melihat kekejaman Jepang lalu
memberontak, seperti pemberontakan PETA di Blitar, Tasikmalaya, Cirebon, dan
Kalimantan Barat. Setelah peristiwa tersebut terjadi, rakyat Indonesia
terutama, pemudanya yang sudah mendapat latihan militer menyadari bahwa nasib
bangsa Indonesia yang dijajah oleh siapa pun sama berat rasanya. Maka dari itu
bulatlah tekad mereka untuk merebut kemerdekaan, sekalipun akan menimbulkan
korban lautan darah.
a. Awal Mulanya Partai
Pada
tanggal 20 Mei 1908 berdirilah di Jakarta sebuah organisasi pertama di antara
bangsa Indonesia yang disusun dalam bentuk modern bernama Budi Utomo (Boedi
Oetomo), di bawah pimpinan Dokter Wahidin Sudirohusodo dan Dokter Oetomo.
Bentuk modern ini seperti dikemukakan A.K Pringgodigdo dalam pengertian “yaitu
dengan pengurus tetap, anggota, tujuan, rancangan pekerjaan, dan sebagainya
didasarkan atas peraturanperaturan yang telah ditetapkan”.
Tujuan
perkumpulan ini yang diputuskan dalam kongres pertamanya tanggal 5 Oktober 1908
di Yogyakarta adalah “kemajuan yang selaras (harmonis) buat negeri dan bangsa,
terutama dengan pengajuan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik
dan industri, kebudayaan (kesenian dan ilmu)”. Dalam kongres tersebut di
tetapkan pula R.T Tirtokusumo, Bupati Karang Anyer, sebagai ketua pengurus
besar yang pertama. Sedang anggota-anggota pengurus besar terdiri dari pegawai
negeri atau bekas pegawai negeri belaka. Di samping itu, pusat perkumpulan
Sistem Kepartaian dan Pemilu di Indonesia ditetapkan di Yogyakarta.
Dari
hal-hal tersebut, dapat diketahui bahwa Budi Utomo ketika itu hanyalah merupakan
organisasi sosial kebudayaan dengan keanggotaan tersebut di kalangan kaum
priayi Jawa. Sebagaimana dicatat oleh Pringgodigdo, “Budi Utomo dahulunya hanya
bekerja berdasarkan kebudayaan dan sosial saja.” Atau seperti yang ditandaskan
Nagazumi Ahira, “Budi Utomo dalam tahun-tahun ini tidak lebih dari suatu
gerakan budaya (cultural) yang lebih dikhususkan lagi bagi emansipasi
priayi-priayi Jawa.” Miriam Budiardjo, sarjana ilmu politik Indonesia, pun menyatakan
pendapatnya, “Budi Utomo merupakan organisasi yang bertujuan sosial.”
Jadi,
Budi Utomo di awal kehadirannya itu bukanlah sebuah partai politik dalam artian
modern serupa pengertian yang dirumuskan Sigmund Neumann, Carl J Friedrich, Rh.
Soltau, Huszar dan Stevenson, atau Miriam Budiardjo. Agaknya Budi Utomo kala
itu lebih dikenal disebut sebagai “embrio” partai politik. Sebab, paling kurang
baru tujuh tahun kemudian Budi Utomo terjun ke arena “perpolitikan”, sehingga
pada waktu itulah partai ini mulai menjalankan peranan sebagai partai politik.
Berikut pernyataan Pringgodigdo yang dapat dibuktikan :“Budi Utomo dalam
rapatnya di Bandung tanggal 5 dan 6 Agustus 1915 menetapkan mosi, yang
menegaskan milisi perlu sekali diadakan untuk bangsa Indonesia jaya.
Tetapi,
hal ini harus diputuskan dalam parlemen yang bakal mengadakan undang-undang
(parlemen II ketika itu belum ada). Dewan Perwakilan Rakyat harus diadakan
lebih dahulu. Drs. Edward Mandala, M.Si.Budi Utomo ikut duduk dalam komite
Indie Weerbaar.” Komite ini pada tanggal 23 Juli 1916 menyatakan keyakinannya
bahwa dalam perang dunia waktu itu, “Bagi Hindia Belanda adalah suatu
kepentingan hidup untuk selekasnya memperoleh kekuatan yang cukup baik di laut
dan di darat untuk mempertahankan diri.” Dalam utusan ke Negeri Belanda
menghadap Sri Baginda Raja Puteri, turut serta utusan Budi Utomo (Dwijosewojo).
Volksraad
akan diadakan (undang-undang dari Desember 1916, dijalankan Agustus 1917,
dibuka Mei 1918). Penting juga tindakan pengurus besar Budi Utomo pada waktunya
itu memajukan diri mengadakan komite nasional (terdiri dari pemimpin-pemimpin
perkumpulanperkumpulan Indonesia yang besar). Dalam bulan Juli 1917, di
Jakarta, Komite Nasional mengadakan sidang untuk merundingkan arah jalan
penunjukan dan pemilihan yang pertama dari anggota-anggota Volksraad.
Sebulan
sebelum itu (Juni 1917), Budi Utomo telah menetapkan sebuah program politik,
bercitacita mewujudkan pemerintahan parlementer berasas kebangsaan. Lalu, kalau
memang Budi Utomo bukan partai politik dalam arti modern pertama, manakah
partai yang datang duluan tersebut. Untuk itu, marilah kita coba memeriksa
organisasi kedua sesudah kemunculan Budi Utomo, yaitu Sarekat Islam.
Sarekat
Islam berasal dari SDI yang didirikan akhir tahun 1911 di Solo oleh Hadji
Samanhudi. SDI berdasarkan kooperasi dengan tujuan memajukan perdagangan
Indonesia di bawah panji-panji Islam. Tanggal 10 September Sistem Kepartaian dan
Pemilu di Indonesia1912, SDI diubah menjadi Sarekat Islam, ketuanya dijabat
oleh Hadji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto menjabat sebagai komisaris.Karena
residen Surakarta, dilarang menerima anggota baru dan mengadakan rapat. Di
samping karena diperluasnya dasar perkumpulan (tapi tanggal 26 Agustus skors
itu dicabut lagi). Tujuannya berkembang menjadi memajukan semangat dagang bangsa Indonesia,
memajukan kecerdasan rakyat, dan hidup menurut perintah agama, menghilangkan
paham-paham yang keliru tentang agama Islam.
Dalam
waktu singkat, Sarekat Islam yang sejak berdirinya ini diarahkan ke rakyat
jelata, berkembang pesat. Pada kongresnya yang ketiga, 17-24 Juni 1916 di
Bandung, telah berdiri 80 Sarekat Islam daerah dengan lebih kurang 800.000
anggota. Tiga tahun kemudian (atau tahun 1919), jumlah anggotanya meningkat
sampai dua juta. Setahun sebelumnya atau tepatnya tanggal 18 Mei 1918 ketika
Volksraad mulai dibuka, Sarekat Islam pun mendudukkan dua orang anggotanya,
yaitu Tjokroaminoto sebagai anggota Volksraad yang diangkat oleh pemerintah dan
Abdul Muis sebagai anggota Volksraad yang dipilih.
Selain
itu, Sarekat Islam pun bersikap berani. Seperti tercermin dalam kongresnya yang
ketiga di Surabaya 29 September hingga 6 Oktober 1918, menentang pemerintah
sepanjang tindakannya “melindungi kapitalisme”, memajukan tuntutan agar
pemerintah mengadakan peraturanperaturan sosial bagi kaum buruh (upah minimum,
maupun maksimum, lamanya bekerja, dan sebagainya) untukmencegah penindasan dan
perbuatan sewenang-wenang.Dengan demikian, tampak jelas keterlibatan Sarekat
Islam dalam pengorganisasian massa, penambahan anggota, dan rekrutmen pimpinan,
memengaruhi proses politik. Sehingga berdasarkan tingkah laku yang
ditunjukkannya itu, kita lebih dari sependapat dengan apa yang dikemukan Daniel
Dhakidae.
Sangat
boleh jadi partai dalam arti modern sebagai suatu organisasi massa yang
berusaha untuk memengaruhi proses politik, merobek kebijaksanaan dan mendidik
para pemimpin, serta mengejar penambahan anggota baru lahir di Indonesia ketika
didirikan Sarekat Islam pada tanggal 10 September 1912. Bukan hanya Daniel
Dhakidae saja yang mengemukakan soal ini. Beberapa orang yang pernah
menggelimangi kepartaian di Indonesia telah menyatakan pula pendapatnya yang
senada dengan itu. Umpamanya K.H. Saifuddin Zuhri secara tegas menyebutkan:
“Sarekat Islam akhirnya berubah menjadi partai politik pertama di Indonesia.”
Atau A. Tambunan yang menulis: “Di Indonesia mulanya timbul partai-partai
politik adalah di lingkungan masyarakat Islam seperti Sarekat Islam.” Jadi
mula-mula adanya partai politik di Indonesia diawali oleh sebuah organisasi di
lingkungan masyarakat Islam bernama Sarekat Islam, atau dengan perkataan lain
sarekat Islamlah partai politik dalam artian modern yang pertama dan relatif
memenuhi persyaratan definisi partai politik para ahli. Kalau misalnya ada
pendapat sebagian orang yang menolaknya dengan alasan Tjokroaminoto Sistem Kepartaian
dan Pemilu di Indonesia tidak mau menyebut Sarekat Islam sebagai sebuah partai
politik, sebagaimana antara lain dinyatakan dalam kongres Sarekat Islam pertama
26 Januari 1913 di Surabaya bahwa “Sarekat Islam bukan partai politik”, maka
menurut hemat kita pendapat tersebut kurang tepat. Sebab pernyataan
Tjokroaminoto yang demikian tidak lain semacam siasat atau dalih untuk mengelak
dari pasal 111 RR tahun 1854.
Belakangan
(1921) Sarekat Islam ini terpecah menjadi dua, yaitu Sarekat Islam merah yang
melahirkan PKI dan Sarekat Islam putih yang memunculkan partai Sarekat Islam
(PSI). Akibat semakin majunya aliran cita-cita Indonesia Raya sebagai hasil
aksi golongan nasionalis terpelajar, PSI semenjak tahun 1929 berganti nama
dengan PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia). Pada bulan Maret 1933, PSII
mencapai popularitasnya di mana jumlah anggotanya tercatat kira-kira sebanyak
30.000. Tetapi, perselisihanperselisihan di antara sesama pengurusnya karena soal
Ko dan Non-Kooperasi telah mengakibatkan PSII terpecah dan munculnya
partai-partai baru di samping PSII sendiri. Partai tersebut antara lain partai
Islam Indonesia (PARII) yang didirikan di penghujung tahun 1932 di Jogja di
bawah pimpinan dr. Sukirman. Dan Penyedar yang dibentuk oleh H. Agus Salim pada
penghabisan tahun 1936 di Jakarta.
b. Perkembangan Partai Politik
pada Masa Awal Kemerdekaan
Dalam
perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, rakyat tidak hanya menyusun
pemerintahan dan militer yang resmi, tetapi juga menyusun laskar atau badan
perjuangan bersenjata dan organisasi politik. Pada zaman kemerdekaan ini,
partai politik tumbuh di Indonesia ibarat tumbuhnya jamur di musim hujan,
dengan berbagai haluan ideologi politik yang berbeda satu sama lain. Hal ini
dikarenakan adanya maklumat Pemerintah RI 3 November 1945 yang berisi, anjuran
mendirikan partai politik dalam rangka memperkuat perjuangan kemerdekaan.
Diantaranya yaitu, Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai
Buruh Indonesia, Partai Rakyat Jelata atau Murba, Masyumi, dan Serindo-PNI.
c. Partai Politik pada Masa UUDS
1950-1959
Ketika
itu Indonesia menganut demokrasi liberal, karena kabinetnya bersifat
parlementer. Dalam demokrasi parlementer, demokrasi liberal atau demokrasi
Eropa Barat, kebebasan individu terjamin. Begitu juga lembaga tinggi. Dalam
sistem politik menurut UUDS 1950, peranan partai-partai besar sekali. Antara
partai politik dan DPR saling ketergantungan, karena anggota DPR umumnya adalah
orang-orang partai. Dalam tahun-tahun pertama sesudah pengakuan kedaulatan,
orang-orang berpendapat bahwa partai merupakan tangga ketenaran atau kenaikan
kedudukan seseorang. Pemimpin-pemimpin partai akan besar pengaruhnya terhadap
pemerintahan baik di pusat maupun di daerah-daerah dan menduduki jabatan tinggi
dalam pemerintahan, meskipun pendidikannya rendah. Partai politik pada zaman
liberal diwarnai suasana penuh ketegangan politik, saling curiga mencurigai
antara partai politik yang satu dengan partai politik lainnya. Hal ini
mengakibatkan hubungan antar politisi tidak harmonis karena hanya mementingkan
kepentingan (Partai politik) sendiri.
d. Partai Politik pada Masa Orde
Lama
Dengan
dikeluarkannya maklumat pemerintah pada tanggal 3 November 1945 yang
menganjurkan dibentuknya partai politik, sejak saat itu berdirilah puluhan
partai. Maklumat ini ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Atas
usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, yang meminta diberikannya
kesempatan pada rakyat yang seluas-luasnya untuk mendirikan Partai Politik.
Partai Politik hasil dari Maklumat Pemerintah 3 November 1945 berjumlah 29
buah, dikelompokkan dalam 4 kelompok partai berdasarkan ketuhanan, kebangsaan,
Marxisme. Dan kelompok partai lain-lain yang termasuk adalah Partai Demokrat
Tionghoa Indonesia dan Partai Indo Nasional. Partai-partai peserta pemilu yang
tidak berhasil meraih kursi disebut sebagai “Partai Gurem”, partai yang tidak
jelas power base-nya. Parta-partai Gurem itu semakin lama semakin tidak
terdengar lagi suaranya. Sementara itu ada partai yang berhasil meraih kursi
melakukan penggabungan-penggabungan dalam pembentukan fraksi. Sampai dengan
tahap ini perkembangan kepartaian mengalami proses seleksi alamiah berdasarkan
akseptabilitas masyarakat. Jumlah partai yang semula puluhan banyaknya,
terseleksi hingga menjadi belasan saja. Jumlah yang mengecil itu bertahan
sampai dengan berubahnya iklim politik dari alam demokrasi liberal ke alam
demokrasi terpimpin. Proses penyederhanaan partai berlangsung terus-menerus.
Pada tanggal 5 Juli 1960, Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan Presiden
No.13 tahun 1960 tentang pengakuan, pengawasan, dan pembubaran partai-partai.
Pada tanggal 14 April 1961 Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden no.
128 tahun 1961 tentang partai yang lulus seleksi, yaitu PNI, NU, PKI, partai
Katolik, Pertindo, Partai Murba, PSII, Arudji, dan IPKI. Dan 2 partai yang
menyusul yaitu Parkindo dan partai Islam Perti.
Jadi,
pada waktu itu partai politik yang boleh bergerak hanya 10 partai saja, karena
partai politik yang lain dianggap tidak memenuhi definisi tentang partai atau
dibubarkan karena tergolong partai Gurem. Tetapi jumlah partai yang tinggal 10
buah itu berkurang satu pada tahun 1964. Presiden Sukarno atas desakan PKI dan
antek-anteknya, membubarkan Partai Murba dengan alasan Partai Murba merongrong
jalannya revolusi dengan cara membantu kegiatan terlarang seperti BPS (Badan
Pendukung Sukarnoisme) dan Menikebu (Manifesto Kebudayaan).
e. Partai Politik Pada Masa Orde
Baru
Perkembangan
partai politik setelah meletus G. 30 S/PKI, adalah dengan dibubarkannya PKI dan
dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Menyusul setelah itu
Pertindo juga menyatakan bubar. Dengan demikian partai politik yang tersisa
hanya 7 buah. Tetapi jumlah itu bertambah dua dengan direhabilitasinya Murba
dan terbentuknya Partai Muslimin Indonesia. Golongan Karya yang berdiri pada
tahun 1964, semakin jelas sosoknya sebagai kekuatan sosial politik baru. Dalam
masa Orde Baru dengan belajar dari pengalaman Orde Lama lebih berusaha
menekankan pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen. Orde Baru berusaha
menciptakan politik dengan format baru. Artinya menggunakan sistem politik yang
lebih sederhana dengan memberi peranan ABRI lewat fungsi sosialnya.
Kristalisasi Partai politik yang terdengar dalam MPR sesudah pemilu 1971
menghendaki jumlah partai diperkecil dan dirombak sehingga partai tidak
berorientasi pada ideologi politik, tetapi pada politik pembangunan. Presiden
Suharto juga bersikeras melaksanakan perombakan tersebut. Khawatir menghadapi
perombakan dari atas, partai-partai yang berhaluan Islam meleburkan diri dalam
partai-partai non Islam berfungsi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Dengan demikian semenjak itu di Indonesia hanya terdapat tiga buah organisasi
sosial politik, yaitu PPP, Golkar, dan PDI. Berikut sejarah singkat berdirinya
tiga partai besar tersebut.
1)
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Pada
tanggal 5 Januari 1973 terbentuk Partai Persatuan Pembangunan yang merupakan
fusi dari NU, Pamusi, PSII, dan Perti. Pada awalnya bernama golongan spiritual,
lalu menjadi kelompok persatuan, serta Fraksi Persatuan Pembangunan. Ketika itu
partai-partai Islam berusaha menggunakan nama dengan label Islam untuk partai
dari fusi, tetapi ada imbauan dari pemerintah agar tidak menggunakannya.
Sehingga
yang muncul adalah “Partai Persatuan Pembangunan”. Dengan demikian PPP lahir
sebagai hasil fusi dari partai-partai Islam pada awal 1973 yang sesungguhnya
adalah partai Islam yang mulai tercabut dari akar-akar sejarahnya.
2)
Golongan Karya (Golkar)
Pengorganisasian
Golkar secara teratur dimulai sejak tahun 1960 dengan dipelopori ABRI khususnya
ABRI-AD, dan secara eksplisit organisasi ini lahir pada tanggal 20 Oktober 1964
dengan nama Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), dengan tujuan
semula untuk mengimbangi dominasi ekspansi kekuasaan politik PKI, serta untuk
menjaga keutuhan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia 17 Agustus 1945
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Jadi, semula Golkar merupakan organisasi
yang dipakai untuk mengimbangi kekuatan ekspansasi politik PKI pada
tahun1960-an, yang kemudian terus berkembang hingga saat ini, dimana fungsi
Golkar sama seperti partai politik.
Perkembangan
lain dari Golkar yang tadinya Golkar dan ABRI menyatu, karena Golkar dipimpin
ABRI aktif, makin lama sudah makin mandiri, dalam arti sudah tidak lagi
bersangkut-paut dengan ABRI aktif. Pada perkembangan lebih lanjut Golkar
sebagai kekuatan Orde Baru bertekad melaksanakan, mengamalkan, dan melestarikan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, dengan melaksanakan
pembangunan di segala bidang menuju tercapainya masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Perkembangan Golkar pada Orde Baru adalah
sebagai kekuatan sosial politik yang merupakan aset bangsa yang selalu komit
dengan cita-cita pembangunan nasional. Dalam politik orde baru Golkar merupakan
kekuatan sosial politik yang terbesar dengan 4 kali menang dalam pemilihan umum
(1971, 1977, 1982, 1992)
3)
Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) dibentuk pada tanggal 10 Januari 1973. Pembentukan
PDI sebagai hasil fusi dari lima partai politik yang berpaham Nasionalisme,
Marhaenisme, Sosialisme, Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Kelima partai
politik yang berfusi menjadi PDI adalah PNI, TPKI, Parkindo, Partai Murba, dan
Partai Katolik. Dalam sejarah sebagai organisasi sosial politik, PDI sering
berhadapan dengan masalah pertentangan/konflik di kalangan pemimpinnya. Pada
hakikatnya potensi konflik hanya salah satu masalah yang dihadapi PDI.
Sejumlah
masalah yang lain juga dihadapi, seperti masalah identitas partai (khususnya
sejak Pancasila ditetapkan sebagai asas tunggal), masalah kemandirian,
demokratis di tubuh partai, dan masalah rekruitasi. Dan berkat Rahmat Tuhan
Yang Maha Esa, kini sistem kepartaian negara kita telah dalam situasi mantap,
di mana ketiga kekuatan sosial politik yang ada, yaitu PPP, Golkar, dan PDI
telah menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
f. Partai Politik di Masa
Reformasi
Perubahan
yang menonjol adalah besarnya peran partai politik dalam pemerintah, keberadaan
partai politik sangat erat dengan kiprah para elit politik, mengerahkan massa
politik, dan kian mengkristalnya kompetisi memperebutkan sumber daya politik.
Hakikat reformasi di Indonesia adalah terampilnya partisipasi penuh
kekuatan-kekuatan masyarakat yang disalurkan melalui partai-partai politik
sebagai pilar demokrasi. Oleh karena itu tidak heran dengan adanya UU No. 2
Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 31 Tahun 2002 yang
memungkinkan lahirnya partai-partai baru dalam percaturan kepartaian di
Indonesia. Namun dari sekian banyak partai hanya ada 5 partai yang memperoleh
suara yang signifikan yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Harapannya
adalah dengan kehadiran banyak partai itu jangan sampai justru menambah
ruwetnya sistem pemerintahan NKRI. Ruwetnya pemerintahan ini mengakibatkan
bangsa Indonesia akan banyak mengalami kendala untuk segera keluar dari krisis
multidevresional yang sudah berjalan. Pada pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945
dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.
Perubahan
tersebut bermakna bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya
oleh MPR, tetepi dilaksanakan menurut ketentuan UU No. 23. Untuk menindak
lanjuti pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945 tersebut dibuatlah UU No. 23 Tahun
2003 tentang Pemilihan Presiden Langsung.
Dalam
penjelasan antara lain diuraikan bahwa salah satu wujud dari kedaulatan rakyat
adalah penyelenggaraan pemilihan umum baik untuk memilih anggota DPR, DPD, dan
DPRD maupun untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang semuanya
dilaksanakan menurut Undang-Undang sebagai perwujudan negara hukum dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 6A UUD 1945 menyatakan bahwa
“Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat, dan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai
politik gabungan-gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan
pemilihan umum“. Presiden dan Wakil Presiden dipilih setiap 5 tahun sekali
melalui pemilihan yang dilaksanakan secara Langsung, Umum, Bebas, Rahasia serta
Jujur dan Adil, yang diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional tetap dan mandiri.
Suasana
Pemilu tahun 1955. Pemilu pertama ini disebut-sebut merupakan pemilu yang
paling demokratis/Arsip Nasional :
1)
Tahun 1955
Pemilu
pertama di Indonesia dan sering disebut sebagai pemilu yang paling demokratis
meski pelaksanaannya saat situasi negara belum kondusif. Tak kurang dari 80
partai politik, organisasi massa, dan puluhan perorangan ikut serta mencalonkan
diri.
Dalam
pemilu 1955 masyarakat memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante yang
dilakukan dalam dua periode. Pertama tanggal 29 September 1955 untuk memilih
anggota DPR dan kedua pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante.
Saat itu anggota angkatan bersenjata dan polisi ikut berpartisipasi.
Dari
pelaksanaannya, pemilu pertama bisa dikatakan sukses dan berlangsung damai.
Dimana tingkat partisipasi warga begitu tinggi. Suara sah saat pemilu mencapai
88 persen dari 43 juta pemilih. Sedangkan pemilih yang suaranya tidak sah atau
tidak datang (golput) hanya sebesar 12,34 persen.
2)
Tahun 1971
Presiden
Soeharto meninjau pelaksanaan Pemilu tahun 1971 di salah satu TPS di
Jakarta/Arsip Nasional.
5
Juli 1971 menjadi pemilu kedua yang dilaksanakan dan merupakan Pemilu pertama
sesudah orde baru. Dimana saat itu diikuti 10 partai politik dan partai baru
golongan karya (golkar) menjadi pemenangnya.
Beberapa
parpol pada Pemilu 1955 tak lagi ikut serta karena dibubarkan, seperti Majelis
Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Partai
Komunis Indonesia (PKI).
Dalam
pelaksanaan Pemilu menggunakan sistem proporsional dengan daftar tertutup dan
semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Golkar menang dengan
mengantongi 62,8 persen suara (236 kursi DPR). Disusul partai lain seperti
Nahdlatul Ulama (NU), Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat
Islam Indonesia.
Banyak
perdebatan antara pakar sejarah politik tentang kadar demokrasi dalam pemilu
1971 ini. Karena banyaknya indikator sebuah pemilihan umum demokratis yang
tidak terpenuhi atau bahkan ditinggalkan sama sekali.
Hal
ini tidak terlepas dari proses transisi kepemimpinan yang diawali oleh
peristiwa berdarah yang kemudian membuat politik Indonesia disebut-sebut masuk
kedalam sebuah era pretorianisme militer. Sebuah era dimana militer selalu
mempunyai peran penting dalam menjaga serta mempertahankan kekuasan. Meski
demikian, di pemilu ini, golput yang pertama kali dicetuskan dan dikampanyekan
justru mengalami penurunan sekitar 6,67 persen. Semasa pemerintahan Presiden
Soeharto (Orde Baru), Golkar selalu menjadi pemenang pemilu sejak tahun 1971
sampai 1997
3)
Tahun 1977
Pemilu
ke tiga dilakukan pada tanggal 2 Mei 1977. Secara proses tidak berbeda jauh dengan
yang digunakan pada pemilu 1971 yaitu menggunkan Sistem Proporsional.
Ciri
khas dari pelaksanaan sistem pemilu 1977 ialah jumlah partai yang mengikuti
pemilu hanya tiga, yakni PPP, PDI dan golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya
pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai
dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar.
Dalam
penghitungannya, dari 70 Juta lebih pemilih, hampir 64 juta suara yang sah atau
sekitar 90,93 persen.
4)
Tahun 1982
Pemilihan
Umum tahun 1982 dilakukan serentak tanggal 4 Mei 1982. Sistem dan tujuannya
sama dengan tahun 1977, di mana hendak memilih anggota DPR (parlemen).
Hanya
saja, komposisinya sedikit berbeda. Sebanyak 364 anggota dipilih langsung oleh
rakyat, sementara 96 orang diangkat oleh presiden. Pemilu ini dilakukan
berdasarkan Undang-undang No. 2 tahun 1980.
Sementara
untuk suara yang sah dalam perhitungan tahun 1982 mencapai 75 Juta lebih.
Dimana golkar tetap menjadi pemenangnya.
5)
Tahun 1987
Pemilu
berikutnya tahun 1987 yang dilakukan tanggal 23 April 1987. Masih dalam masa
orde baru secara sistem dan tujuan pemilihan masih sama dengan pemilu
sebelumnya yaitu memilih anggota parlemen.
Total
kursi yang tersedia adalah 500 kursi. Dari jumlah ini, 400 dipilih secara
langsung dan 100 diangkat oleh Presiden Suharto. Sistem Pemilu yang digunakan
sama seperti pemilu sebelumnya, yaitu Proporsional dengan varian Party-List.
6)
Tahun 1992
Pemilu
kelima yang dilakukan secara periodik pada pemerintahan Orde Baru dilaksanakan
pada tanggal 9 Juni 1992. Tidak jauh beda dengan pemilu sebelumnya, secara
sistem dan tujuan juga masih tetap sama.
Sementara
untuk suara yang sah tahun 1992 mencapai 97 Juta lebih suara, dari total
pemilih terdaftar 105.565.697 orang.
7)
Tahun 1997
Pemilu
1997 merupakan Pemilu terakhir di masa pemerintahan Presiden Suharto. Pemilu
ini diadakan tanggal 29 Mei 1997. Sistem dan tujuan penyelenggaraan pemilu
masih sama yakni, Proporsional dengan varian Party-List. Dimana saat itu
memilih 424 orang anggota DPR.
Pada
tanggal 7 Maret 1997, sebanyak 2.289 kandidat (caleg) telah disetujui untuk
bertarung guna memperoleh kursi parlemen.
Pemilu
1997 ini menuai sejumlah protes. Di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak
suara dibakar massa oleh sebab kecurangan Pemilu dianggap sudah keterlaluan dan
di tahun ini jumlah suara yang sah hampir 113 Juta suara.
PDIP
merupakan partai pemenang Pemilu tahun 1999. Namun pemilihan presiden
dimenangkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari PKB. Sementara Ketua Umum
PDIP Megawati Soekarno Putri menjadi wakil presiden
8)
Tahun 1999
Pemilu
berikutnya tahun 1999 yang sekaligus menjadi Pemilu pertama sesudah runtuhnya
orde baru dan dilangsungkan tanggal 7 Juni.
Pemilu
ini diadakan di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Terselenggara di
bawah sistem politik Demokrasi Liberal. Artinya, jumlah partai peserta tidak
lagi dibatasi seperti pemilu-pemilu lalu yang hanya terdiri dari Golkar, PPP,
dan PDI.
Jumlah
partai yang terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM adalah 141 partai, sementara
yang lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 1999 adalah 48 partai.
Tidak
seperti pemilu-pemilu sebelumnya, Pemilu 1999 mengalami beberapa hambatan
diantaranya dalam proses perhitungan suara, dimana terdapat 27 partai politik
yang tidak bersedia menandatangani berkas hasil pemilu 1999. Masalah
selanjutnya adalah pembagian kursi.
Perbedaan
antara Pemilu 1999 dengan Pemilu 1997 adalah bahwa pada Pemilu 1999 penetapan
calon terpilih didasarkan pada rangking perolehan suara suatu partai di daerah
pemilihan.
Contohnya,
Caleg A meski berada di urutan terbawah daftar caleg, jika dari daerahnya ia
dan partainya mendapatkan suara terbesar, maka dia-lah yang terpilih. Untuk
penetapan caleg terpilih berdasarkan perolehan suara di Daerah Tingkat II
(kabupaten/kota).
9)
Tahun 2004
Pemilu
tahun 2004 merupakan tonggak demokrasi Indonesia karena rakyat memilih langsung
anggota DPR dan pasangan Presiden-Wakil Presiden/dokumentasi KPU. Pemilu 2004
diselenggarakan secara serentak pada tanggal 5 April 2004 untuk memilih 550
Anggota DPR, 128 Anggota DPD, serta Anggota DPRD (DPRD Provinsi maupun DPRD
Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2004-2009.
Sedangkan
untuk memilih presiden dan wakil presiden untuk masa bakti 2004-2009
diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004 (putaran I) dan 20 September 2004
(putaran II).
Pemilu
2004 merupakan sejarah tersendiri bagi pemrintahan Indonesia. Dimana untuk
pertama kalinya rakyat Indonesia memilih presidennya secara langsung. Sekaligus
membuktikan upaya serius mewujudkan sistem pemerintahan Presidensil yang dianut
oleh pemerintah Indonesia.
Sistem
pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan Daftar Calon Terbuka.
Proporsional Daftar adalah sistem pemilihan mengikuti jatah kursi di tiap
daerah pemilihan. Jadi, suara yang diperoleh partai-partai politik di tiap
daerah selaras dengan kursi yang mereka peroleh di parlemen.
Untuk
memilih anggota parlemen, digunakan sistem pemilu Proporsional dengan varian
Proporsional Daftar (terbuka). Untuk memilih anggota DPD, digunakan sistem
pemilu Lainnya, yaitu Single Non Transverable Vote (SNTV). Sementara untuk
memilih presiden, digunakan sistem pemilihan Mayoritas/Pluralitas dengan varian
Two Round System (Sistem Dua Putaran).
Pemilu
2004 ini adalah periode pertama kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono. Meski
demikian di Pemilu Legislatif jumlah pemilih terdaftar yang tidak memakai hak
pilihnya cukup besar yakni sekitar 23 juta lebih suara, dari jumlah pemilih
terdaftar 148 Juta pemilih, atau 16 persen tidak memakai hak pilihnya.
10)
Tahun 2009
Pemilu
2009 merupakan pemilu ketiga pada masa reformasi yang diselenggarakan secara
serentak pada tanggal 9 April 2009 untuk memilih 560 Anggota DPR, 132 Anggota
DPD, serta Anggota DPRD (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia
periode 2009-2014. Sedangkan untuk memilih presiden dan wakil presiden untuk
masa bakti 2009-2014 diselenggarakan pada tanggal 8 Juli 2009 (satu putaran). Pemilu
2009 dilaksanakan menurut Undang-undang Nomor 10 tahun 2008. Jumlah kursi di
tiap dapil yang diperebutkan minimal tiga dan maksimal sepuluh kursi. Ketentuan
ini berbeda dengan Pemilu 2004.
Pemilu
2009 menjadi periode kedua terpilihnya presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan
didampingi Prof. Dr. Boediono sebagai wakil presiden.
Sementara
untuk jumlah golput hampir 50 juta suara atau sekitar 30 persen. Jumlah angka
golput ini tergolong besar meskipun masih lebih kecil dari hasil survei yang
memprediksi angka golput mencapai 40 persen.
11)
Tahun 2014
Pada tahun 2014, seluruh rakyat
Indonesia kembali akan melakukan pesta demokrasi terbesar yaitu pemilihan umum untuk
menentukan tidak hanya anggota DPR, DPRD Tingkat 1, DPRD Tingkat 2, dan DPD,
tetapi juga memilih presiden dan wakil presiden negeri ini. Pemilu legislatif
akan dilakukan pada tanggal 09 April 2014 dan pemilu presiden akan dilakukan
pada tanggal 09 Juli 2014.
Pemilu Legislatif
Partai
Politik Nasional
No. urut
|
Lambang dan nama partai
|
|
1
|
||
2
|
||
3
|
||
4
|
||
5
|
||
6
|
||
7
|
||
8
|
||
9
|
||
10
|
||
14
|
||
15
|
g.
Empat
Partai Baru di Pemilu 2019 dan Kekuatan Pendirinya
Sejumlah
ketua Umum partai Politik berfoto bersama ketua KPU usai menerima nomor urut
partai di KPU, Jakarta, 18 Februari 2018. Tempo/Fakhri Hermansyah
Komisi
Pemilihan Umum telah mengumumkan partai politik yang lolos menjadi peserta
Pemilihan Umum atau Pemilu 2019. Dari 16 Partai, 14 dinyatakan lolos dan 4 di
antaranya adalah partai baru. Mereka adalah Partai Persatuan Indonesia
(Perindo), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Berkarya, dan Partai
Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda).
Popularitas
empat partai tersebut meroket selama beberapa tahun terakhir. Hal tersebut tidak
terlepas dari kekuatan pendirinya yang berasal dari berbagai bidang, di
antaranya pengusaha, aktivis, dan jurnalis. Partai baru ini memiliki ide dan
strategi tersendiri untuk menarik simpati publik dan mendongkrap suara di
Pemilu 2019.
1.
Partai Perindo
Partai
Perindo didirikan oleh pengusaha media, MNC Group, Hary Tanoeseodibyo. Awalnya,
partai ini dinilai bakal memiliki elektabilitas yang rendah. Hary Tanoe pun tak
menyangkalnya. Hary Tanoe menduga elektabilitas Perindo yang masih buruk karena
faktor popularitas. Menurut dia, Perindo masih kurang populer di daerah
sehingga kader-kadernya harus terus membangunnya lewat berbagai kegiatan di
tingkat ranting sampai pusat.
Hary
Tanoe kerap menunjukkan sikap yang berseberangan dengan pemerintahan Jokowi –
JK. Hal itu ditunjukkan dalam pernyatan-pernyataan politiknya soal revolusi
mental hingga kebijakan ekonomi yang dianggapnya tak berpihak pada rakyat.
Namun, Hary Tanoesoedibjo telah melakukan manuver politik. Ia menyatakan akan
mendukung Jokowi untuk maju dalam Pilpres 2019. "Untuk Pilpres, melihat
perkembangan sekarang, Kongres Partai Perindo mendatang akan mengusulkan Pak
Jokowi sebagai Calon Presiden 2019," ujar Hary Tanoe.
Hary
Tanoe mengatakan, partainya lebih berupaya untuk menggenjot popularitas serta
elektabilitas partainya lewat media, terutama televisi. Lewat jaringan MNC,
media yang dimilikinya, iklan Partai Perindo hampir tiap saat muncul di
televisi.
Selain
itu berbagai kegiatan juga dilakukan Perindo, di antaranya adalah bedah rumah,
pemberian gerobak cuma-cuma, bantuan kepada petani, bantuan pemuda, pemberitaan
di media, juga billboard. Senin, 9 Oktober 2019, Perindo resmi mendaftarkan
diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk Pemilu 2019 dan selama proses
verifikasi tidak mengalami kendala tertentu.
2.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI)
PSI
didirikan oleh mantan jurnalis televisi, Grace Natalie. Grace Natalie mengaku
kesulitan saat pertama kali mendirikan partai politik. "Bukan hal yang
mudah mendirikan parpol. Tapi kami bersyukur sebagai satu-satunya parpol baru
yang lolos badan hukum," ujar Grace.
Grace
mengatakan, modal terbesar dari partainya adalah kreativitas. Ia mengatakan,
partainya menawarkan gaya baru dalam berpolitik yang lebih menyasar pada anak
muda dan perempuan. Menurut Grace, anak muda dan perempuan lah yang selama ini
dianggap kurang terwakili kepentingannya di dunia politik.
Tsamara
Amany yang kerap dibicarakan di media sosial juga menjadi pendongkrak
popularitas partai ini. Mantan jurnalis Isyana Bagoes Oka, Andy Budiman, serta
desainer internasional dari Bali Niluh Djelantik juga aktif dalam menyampaikan
visi dan misi dari PSI di media sosial.
Grace
mengaku partainya mendapatkan sokongan dana dari berbagai pengusaha kelas
menengah. Selain itu, pertainya juga menggalang dana dari publik dengan
mengeluarkan satu kartu bernama Kartu Sakti atau Solidaritas Antikorupsi dan
Intoleransi.
3.
Partai Berkarya
Partai
Berkarya digagas oleh putra mantan presiden RI Soeharto, Hutomo Mandala Putra
atau Tommy Soeharto. Berdiri tahun 2016, partai ini mendaftarkan ke KPU sebagai
peserta Pemilu pada 13 Oktober 2017. Partai Berkarya didominasi oleh mantan
kader Partai Golongan Karya atau Golkar. Namun, Tommy mengatakan, Partai
Berkarya bukan pecahan Partai Golkar dan didirikan bukan karena sakit hati
dengan Golkar. "Tapi kita ingin semangat Berkarya zaman Orde Baru kembali
muncul,"ujarnya.
Partai
ini menjadikan figur Presiden Indonesia kedua Soeharto sebagai roh partai.
Tommy mengatakan, banyak orang merindukan figur Pak Harto yang tidak membedakan
suku,ras,agama dan mengutamakan persatuan dan nasionalisme.
Sebelumnya,
KPU menyatakan Partai Berkarya tak lolos ke tahap verifikasi faktual. Sebab,
Partai itu tidak bisa memenuhi syarat batas minimal keanggotaan di
kabupaten/kota sebanyak seribu orang atau satu per seribu dari jumlah penduduk.
Namun, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menganulir keputusan tersebut
dan menyatakan keputusan KPU tidak sah.
Sekretaris
Jenderal Badarudin Andy Picunang mengatakan optimistis menghadapi Pemilu 2019
dan mendudukkan wakil di parlemen. "Apalagi ada Mas Tommy Soeharto dan
ahli strategi Mayjen Muchdi Pr, kami yakin Partai Berkarya menjadi peserta
Pemilu 2019," ujar dia.
4.
Partai Garuda
Partai
Garuda (Gerakan Perubahan Indonesia) dideklarasikan pada 16 April 2015. Partai
ini mendaftarkan diri sebagai peserta Pemilihan Umum 2019 pada 15 Oktober 2017.
Ketua Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana mengakui partainya belum banyak
diketahui orang. "Partai ini mungkin belum pernah terdengar karena gerakan
kami silent, kami enggak pengen gembar-gembor," kata Ridha.
Sebelumnya,
Sekretaris Jenderal Partai Garuda Abdullah Mansyuri mengatakan partainya
bergerak dengan jaringan anggota yang berada di daerah. "Kami mencoba
setenang mungkin. Bergerak semampu kami dan menggerakkan jaringan yang kami
punya," ujarnya.
Abdullah
Mansyuri mengatakan, partainya akan berusaha semaksimal mungkin untuk
memenangkan hati rakyat dalam Pemilu 2019. Ia mengatakan, sebagai partai baru,
partainya akan mengajak anak-anak muda untuk bergabung. Anak muda, menurut dia,
dianggap lebih mandiri dan memiliki niatan luhur untuk memperbaiki kondisi
negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar