Kamis, 19 April 2018

PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK DARI MASA KE MASA


PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA
Oleh : Ferry .Coeman .Papilaya


A. Partai Politik
Partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Bisa juga di definisikan, perkumpulan (segolongan orang-orang) yang seasas, sehaluan, setujuan di bidang politik. Baik yang berdasarkan partai kader atau struktur kepartaian yang dimonopoli oleh sekelompok anggota partai yang terkemuka. Atau bisa juga berdasarkan partai massa, yaitu partai politik yang mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggotanya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), partai politik berarti perkumpulan yang didirikan untuk mewujudkan ideologi politik tertentu. Dalam sejarah Indonesia, keberadaan Partai politik di Indonesia diawali dengan didirikannya organisasi Boedi Oetomo (BO), pada tahun 1908 di Jakarta oleh Dr. Wahidin Soediro Hoesodo dkk. Walaupun pada waktu itu BO belum bertujuan ke politik murni, tetapi keberadaan BO sudah diakui para peneliti dan pakar sejarah Indonesia sebagai perintis organisasi modern. Dengan kata lain, BO merupakan cikal bakal dari organisasi massa atau organisasi politik di Indonesia.

B. Perkembangan Partai Politik dan Pemilu di Indonesia
1. Partai Politik pada Masa Penjajahan Belanda.
Kepartaian yang terjadi di Indonesia, sudah mulai tumbuh dan berkembang sejak masa kolonial Belanda, untuk hal yang menarik untuk disimak dalam buku ini, dimulai dari kepartaian ini dari sejak masa penjajahan Belanda. Kita akan mundur ke belakang (flash back) guna mengetahui perkembangan partai-partai politik pada masa penjajahan. Partai-partai politik pada masa penjajahan merupakan embrio bagi tumbuh dan berkembangnya partai-partai politik pada saat ini. Perkembangan partaipartai politik pada masa penjajahan dapat kita bedakan dalam dua kelompok besar, yaitu pada masa penjajahan Belanda dan pada masa pendudukan Jepang.
Secara umum pembahasan masalah kepartaian ini terdiri dari tiga pembahasan. Dimulai dengan pembahasan mengenai partai politik pada masa penjajahan, pembahasan mengenai jumlah partai politik, dan pembahasan mengenai partai-partai politik pada zaman Jepang. Adapun tujuan buku Drs. Edward Mandala, M.Si. ini adalah menjelaskan pertumbuhan dan perkembangan partai-partai politik pada masa penjajahan Belanda dan Jepang.

2. Partai Politik pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Perang Pasifik berjalan 3 bulan, pada bulan Maret 1942, tentara Jepang dipimpin oleh Jendral Imamura mendarat di Pulau Jawa. Dengan semboyan “kemakmuran bersama” dan “Asia untuk bangsa Asia”, banyak di antara pemimpin-pemimpin Indonesia yang terpikat hatinya oleh Jepang, sebab percaya pada propagandanya yang mengadakan Perang Suci.

Padahal kedatangan bangsa Jepang yang sesungguhnya adalah menggantikan kedudukan penjajahan Belanda. Saat itu, partai politik dilarang, kecuali Masyumi boleh berkembang. Untuk memuaskan bangsa Indonesia, Jepang mengatur strategi yaitu kota-kota di Indonesia yang sejak zaman Belanda diganti dengan nama Belanda, lalu diganti lagi dengan nama Indonesia asli.

Ketika Jepang berkuasa di Nusantara, mereka bertindak sewenang-wenang, berbuat sangat kejam dan hidup kemewahan, sedangkan ribuan rakyat Indonesia yang mati kelaparan dan dipaksa menjadi budak romusha banyak yang menderita. Beberapa golongan bangsa Indonesia yang tidak tahan lagi melihat kekejaman Jepang lalu memberontak, seperti pemberontakan PETA di Blitar, Tasikmalaya, Cirebon, dan Kalimantan Barat. Setelah peristiwa tersebut terjadi, rakyat Indonesia terutama, pemudanya yang sudah mendapat latihan militer menyadari bahwa nasib bangsa Indonesia yang dijajah oleh siapa pun sama berat rasanya. Maka dari itu bulatlah tekad mereka untuk merebut kemerdekaan, sekalipun akan menimbulkan korban lautan darah.

a.   Awal Mulanya Partai
Pada tanggal 20 Mei 1908 berdirilah di Jakarta sebuah organisasi pertama di antara bangsa Indonesia yang disusun dalam bentuk modern bernama Budi Utomo (Boedi Oetomo), di bawah pimpinan Dokter Wahidin Sudirohusodo dan Dokter Oetomo. Bentuk modern ini seperti dikemukakan A.K Pringgodigdo dalam pengertian “yaitu dengan pengurus tetap, anggota, tujuan, rancangan pekerjaan, dan sebagainya didasarkan atas peraturanperaturan yang telah ditetapkan”.
Tujuan perkumpulan ini yang diputuskan dalam kongres pertamanya tanggal 5 Oktober 1908 di Yogyakarta adalah “kemajuan yang selaras (harmonis) buat negeri dan bangsa, terutama dengan pengajuan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, kebudayaan (kesenian dan ilmu)”. Dalam kongres tersebut di tetapkan pula R.T Tirtokusumo, Bupati Karang Anyer, sebagai ketua pengurus besar yang pertama. Sedang anggota-anggota pengurus besar terdiri dari pegawai negeri atau bekas pegawai negeri belaka. Di samping itu, pusat perkumpulan Sistem Kepartaian dan Pemilu di Indonesia ditetapkan di Yogyakarta.

Dari hal-hal tersebut, dapat diketahui bahwa Budi Utomo ketika itu hanyalah merupakan organisasi sosial kebudayaan dengan keanggotaan tersebut di kalangan kaum priayi Jawa. Sebagaimana dicatat oleh Pringgodigdo, “Budi Utomo dahulunya hanya bekerja berdasarkan kebudayaan dan sosial saja.” Atau seperti yang ditandaskan Nagazumi Ahira, “Budi Utomo dalam tahun-tahun ini tidak lebih dari suatu gerakan budaya (cultural) yang lebih dikhususkan lagi bagi emansipasi priayi-priayi Jawa.” Miriam Budiardjo, sarjana ilmu politik Indonesia, pun menyatakan pendapatnya, “Budi Utomo merupakan organisasi yang bertujuan sosial.”

Jadi, Budi Utomo di awal kehadirannya itu bukanlah sebuah partai politik dalam artian modern serupa pengertian yang dirumuskan Sigmund Neumann, Carl J Friedrich, Rh. Soltau, Huszar dan Stevenson, atau Miriam Budiardjo. Agaknya Budi Utomo kala itu lebih dikenal disebut sebagai “embrio” partai politik. Sebab, paling kurang baru tujuh tahun kemudian Budi Utomo terjun ke arena “perpolitikan”, sehingga pada waktu itulah partai ini mulai menjalankan peranan sebagai partai politik. Berikut pernyataan Pringgodigdo yang dapat dibuktikan :“Budi Utomo dalam rapatnya di Bandung tanggal 5 dan 6 Agustus 1915 menetapkan mosi, yang menegaskan milisi perlu sekali diadakan untuk bangsa Indonesia jaya.

Tetapi, hal ini harus diputuskan dalam parlemen yang bakal mengadakan undang-undang (parlemen II ketika itu belum ada). Dewan Perwakilan Rakyat harus diadakan lebih dahulu. Drs. Edward Mandala, M.Si.Budi Utomo ikut duduk dalam komite Indie Weerbaar.” Komite ini pada tanggal 23 Juli 1916 menyatakan keyakinannya bahwa dalam perang dunia waktu itu, “Bagi Hindia Belanda adalah suatu kepentingan hidup untuk selekasnya memperoleh kekuatan yang cukup baik di laut dan di darat untuk mempertahankan diri.” Dalam utusan ke Negeri Belanda menghadap Sri Baginda Raja Puteri, turut serta utusan Budi Utomo (Dwijosewojo).

Volksraad akan diadakan (undang-undang dari Desember 1916, dijalankan Agustus 1917, dibuka Mei 1918). Penting juga tindakan pengurus besar Budi Utomo pada waktunya itu memajukan diri mengadakan komite nasional (terdiri dari pemimpin-pemimpin perkumpulanperkumpulan Indonesia yang besar). Dalam bulan Juli 1917, di Jakarta, Komite Nasional mengadakan sidang untuk merundingkan arah jalan penunjukan dan pemilihan yang pertama dari anggota-anggota Volksraad.
Sebulan sebelum itu (Juni 1917), Budi Utomo telah menetapkan sebuah program politik, bercitacita mewujudkan pemerintahan parlementer berasas kebangsaan. Lalu, kalau memang Budi Utomo bukan partai politik dalam arti modern pertama, manakah partai yang datang duluan tersebut. Untuk itu, marilah kita coba memeriksa organisasi kedua sesudah kemunculan Budi Utomo, yaitu Sarekat Islam.

Sarekat Islam berasal dari SDI yang didirikan akhir tahun 1911 di Solo oleh Hadji Samanhudi. SDI berdasarkan kooperasi dengan tujuan memajukan perdagangan Indonesia di bawah panji-panji Islam. Tanggal 10 September Sistem Kepartaian dan Pemilu di Indonesia1912, SDI diubah menjadi Sarekat Islam, ketuanya dijabat oleh Hadji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto menjabat sebagai komisaris.Karena residen Surakarta, dilarang menerima anggota baru dan mengadakan rapat. Di samping karena diperluasnya dasar perkumpulan (tapi tanggal 26 Agustus skors itu dicabut lagi). Tujuannya berkembang menjadi  memajukan semangat dagang bangsa Indonesia, memajukan kecerdasan rakyat, dan hidup menurut perintah agama, menghilangkan paham-paham yang keliru tentang agama Islam.

Dalam waktu singkat, Sarekat Islam yang sejak berdirinya ini diarahkan ke rakyat jelata, berkembang pesat. Pada kongresnya yang ketiga, 17-24 Juni 1916 di Bandung, telah berdiri 80 Sarekat Islam daerah dengan lebih kurang 800.000 anggota. Tiga tahun kemudian (atau tahun 1919), jumlah anggotanya meningkat sampai dua juta. Setahun sebelumnya atau tepatnya tanggal 18 Mei 1918 ketika Volksraad mulai dibuka, Sarekat Islam pun mendudukkan dua orang anggotanya, yaitu Tjokroaminoto sebagai anggota Volksraad yang diangkat oleh pemerintah dan Abdul Muis sebagai anggota Volksraad yang dipilih.

Selain itu, Sarekat Islam pun bersikap berani. Seperti tercermin dalam kongresnya yang ketiga di Surabaya 29 September hingga 6 Oktober 1918, menentang pemerintah sepanjang tindakannya “melindungi kapitalisme”, memajukan tuntutan agar pemerintah mengadakan peraturanperaturan sosial bagi kaum buruh (upah minimum, maupun maksimum, lamanya bekerja, dan sebagainya) untukmencegah penindasan dan perbuatan sewenang-wenang.Dengan demikian, tampak jelas keterlibatan Sarekat Islam dalam pengorganisasian massa, penambahan anggota, dan rekrutmen pimpinan, memengaruhi proses politik. Sehingga berdasarkan tingkah laku yang ditunjukkannya itu, kita lebih dari sependapat dengan apa yang dikemukan Daniel Dhakidae.
Sangat boleh jadi partai dalam arti modern sebagai suatu organisasi massa yang berusaha untuk memengaruhi proses politik, merobek kebijaksanaan dan mendidik para pemimpin, serta mengejar penambahan anggota baru lahir di Indonesia ketika didirikan Sarekat Islam pada tanggal 10 September 1912. Bukan hanya Daniel Dhakidae saja yang mengemukakan soal ini. Beberapa orang yang pernah menggelimangi kepartaian di Indonesia telah menyatakan pula pendapatnya yang senada dengan itu. Umpamanya K.H. Saifuddin Zuhri secara tegas menyebutkan: “Sarekat Islam akhirnya berubah menjadi partai politik pertama di Indonesia.” Atau A. Tambunan yang menulis: “Di Indonesia mulanya timbul partai-partai politik adalah di lingkungan masyarakat Islam seperti Sarekat Islam.” Jadi mula-mula adanya partai politik di Indonesia diawali oleh sebuah organisasi di lingkungan masyarakat Islam bernama Sarekat Islam, atau dengan perkataan lain sarekat Islamlah partai politik dalam artian modern yang pertama dan relatif memenuhi persyaratan definisi partai politik para ahli. Kalau misalnya ada pendapat sebagian orang yang menolaknya dengan alasan Tjokroaminoto Sistem Kepartaian dan Pemilu di Indonesia tidak mau menyebut Sarekat Islam sebagai sebuah partai politik, sebagaimana antara lain dinyatakan dalam kongres Sarekat Islam pertama 26 Januari 1913 di Surabaya bahwa “Sarekat Islam bukan partai politik”, maka menurut hemat kita pendapat tersebut kurang tepat. Sebab pernyataan Tjokroaminoto yang demikian tidak lain semacam siasat atau dalih untuk mengelak dari pasal 111 RR tahun 1854.

Belakangan (1921) Sarekat Islam ini terpecah menjadi dua, yaitu Sarekat Islam merah yang melahirkan PKI dan Sarekat Islam putih yang memunculkan partai Sarekat Islam (PSI). Akibat semakin majunya aliran cita-cita Indonesia Raya sebagai hasil aksi golongan nasionalis terpelajar, PSI semenjak tahun 1929 berganti nama dengan PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia). Pada bulan Maret 1933, PSII mencapai popularitasnya di mana jumlah anggotanya tercatat kira-kira sebanyak 30.000. Tetapi, perselisihanperselisihan di antara sesama pengurusnya karena soal Ko dan Non-Kooperasi telah mengakibatkan PSII terpecah dan munculnya partai-partai baru di samping PSII sendiri. Partai tersebut antara lain partai Islam Indonesia (PARII) yang didirikan di penghujung tahun 1932 di Jogja di bawah pimpinan dr. Sukirman. Dan Penyedar yang dibentuk oleh H. Agus Salim pada penghabisan tahun 1936 di Jakarta.

b.   Perkembangan Partai Politik pada Masa Awal Kemerdekaan
Dalam perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, rakyat tidak hanya menyusun pemerintahan dan militer yang resmi, tetapi juga menyusun laskar atau badan perjuangan bersenjata dan organisasi politik. Pada zaman kemerdekaan ini, partai politik tumbuh di Indonesia ibarat tumbuhnya jamur di musim hujan, dengan berbagai haluan ideologi politik yang berbeda satu sama lain. Hal ini dikarenakan adanya maklumat Pemerintah RI 3 November 1945 yang berisi, anjuran mendirikan partai politik dalam rangka memperkuat perjuangan kemerdekaan. Diantaranya yaitu, Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Buruh Indonesia, Partai Rakyat Jelata atau Murba, Masyumi, dan Serindo-PNI.

c.    Partai Politik pada Masa UUDS 1950-1959
Ketika itu Indonesia menganut demokrasi liberal, karena kabinetnya bersifat parlementer. Dalam demokrasi parlementer, demokrasi liberal atau demokrasi Eropa Barat, kebebasan individu terjamin. Begitu juga lembaga tinggi. Dalam sistem politik menurut UUDS 1950, peranan partai-partai besar sekali. Antara partai politik dan DPR saling ketergantungan, karena anggota DPR umumnya adalah orang-orang partai. Dalam tahun-tahun pertama sesudah pengakuan kedaulatan, orang-orang berpendapat bahwa partai merupakan tangga ketenaran atau kenaikan kedudukan seseorang. Pemimpin-pemimpin partai akan besar pengaruhnya terhadap pemerintahan baik di pusat maupun di daerah-daerah dan menduduki jabatan tinggi dalam pemerintahan, meskipun pendidikannya rendah. Partai politik pada zaman liberal diwarnai suasana penuh ketegangan politik, saling curiga mencurigai antara partai politik yang satu dengan partai politik lainnya. Hal ini mengakibatkan hubungan antar politisi tidak harmonis karena hanya mementingkan kepentingan (Partai politik) sendiri.



d.   Partai Politik pada Masa Orde Lama
Dengan dikeluarkannya maklumat pemerintah pada tanggal 3 November 1945 yang menganjurkan dibentuknya partai politik, sejak saat itu berdirilah puluhan partai. Maklumat ini ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Atas usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, yang meminta diberikannya kesempatan pada rakyat yang seluas-luasnya untuk mendirikan Partai Politik. Partai Politik hasil dari Maklumat Pemerintah 3 November 1945 berjumlah 29 buah, dikelompokkan dalam 4 kelompok partai berdasarkan ketuhanan, kebangsaan, Marxisme. Dan kelompok partai lain-lain yang termasuk adalah Partai Demokrat Tionghoa Indonesia dan Partai Indo Nasional. Partai-partai peserta pemilu yang tidak berhasil meraih kursi disebut sebagai “Partai Gurem”, partai yang tidak jelas power base-nya. Parta-partai Gurem itu semakin lama semakin tidak terdengar lagi suaranya. Sementara itu ada partai yang berhasil meraih kursi melakukan penggabungan-penggabungan dalam pembentukan fraksi. Sampai dengan tahap ini perkembangan kepartaian mengalami proses seleksi alamiah berdasarkan akseptabilitas masyarakat. Jumlah partai yang semula puluhan banyaknya, terseleksi hingga menjadi belasan saja. Jumlah yang mengecil itu bertahan sampai dengan berubahnya iklim politik dari alam demokrasi liberal ke alam demokrasi terpimpin. Proses penyederhanaan partai berlangsung terus-menerus. Pada tanggal 5 Juli 1960, Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan Presiden No.13 tahun 1960 tentang pengakuan, pengawasan, dan pembubaran partai-partai. Pada tanggal 14 April 1961 Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden no. 128 tahun 1961 tentang partai yang lulus seleksi, yaitu PNI, NU, PKI, partai Katolik, Pertindo, Partai Murba, PSII, Arudji, dan IPKI. Dan 2 partai yang menyusul yaitu Parkindo dan partai Islam Perti.

Jadi, pada waktu itu partai politik yang boleh bergerak hanya 10 partai saja, karena partai politik yang lain dianggap tidak memenuhi definisi tentang partai atau dibubarkan karena tergolong partai Gurem. Tetapi jumlah partai yang tinggal 10 buah itu berkurang satu pada tahun 1964. Presiden Sukarno atas desakan PKI dan antek-anteknya, membubarkan Partai Murba dengan alasan Partai Murba merongrong jalannya revolusi dengan cara membantu kegiatan terlarang seperti BPS (Badan Pendukung Sukarnoisme) dan Menikebu (Manifesto Kebudayaan).

e.   Partai Politik Pada Masa Orde Baru
Perkembangan partai politik setelah meletus G. 30 S/PKI, adalah dengan dibubarkannya PKI dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Menyusul setelah itu Pertindo juga menyatakan bubar. Dengan demikian partai politik yang tersisa hanya 7 buah. Tetapi jumlah itu bertambah dua dengan direhabilitasinya Murba dan terbentuknya Partai Muslimin Indonesia. Golongan Karya yang berdiri pada tahun 1964, semakin jelas sosoknya sebagai kekuatan sosial politik baru. Dalam masa Orde Baru dengan belajar dari pengalaman Orde Lama lebih berusaha menekankan pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen. Orde Baru berusaha menciptakan politik dengan format baru. Artinya menggunakan sistem politik yang lebih sederhana dengan memberi peranan ABRI lewat fungsi sosialnya. Kristalisasi Partai politik yang terdengar dalam MPR sesudah pemilu 1971 menghendaki jumlah partai diperkecil dan dirombak sehingga partai tidak berorientasi pada ideologi politik, tetapi pada politik pembangunan. Presiden Suharto juga bersikeras melaksanakan perombakan tersebut. Khawatir menghadapi perombakan dari atas, partai-partai yang berhaluan Islam meleburkan diri dalam partai-partai non Islam berfungsi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan demikian semenjak itu di Indonesia hanya terdapat tiga buah organisasi sosial politik, yaitu PPP, Golkar, dan PDI. Berikut sejarah singkat berdirinya tiga partai besar tersebut.

1)     Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Pada tanggal 5 Januari 1973 terbentuk Partai Persatuan Pembangunan yang merupakan fusi dari NU, Pamusi, PSII, dan Perti. Pada awalnya bernama golongan spiritual, lalu menjadi kelompok persatuan, serta Fraksi Persatuan Pembangunan. Ketika itu partai-partai Islam berusaha menggunakan nama dengan label Islam untuk partai dari fusi, tetapi ada imbauan dari pemerintah agar tidak menggunakannya.

Sehingga yang muncul adalah “Partai Persatuan Pembangunan”. Dengan demikian PPP lahir sebagai hasil fusi dari partai-partai Islam pada awal 1973 yang sesungguhnya adalah partai Islam yang mulai tercabut dari akar-akar sejarahnya.

2)     Golongan Karya (Golkar)
Pengorganisasian Golkar secara teratur dimulai sejak tahun 1960 dengan dipelopori ABRI khususnya ABRI-AD, dan secara eksplisit organisasi ini lahir pada tanggal 20 Oktober 1964 dengan nama Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), dengan tujuan semula untuk mengimbangi dominasi ekspansi kekuasaan politik PKI, serta untuk menjaga keutuhan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Jadi, semula Golkar merupakan organisasi yang dipakai untuk mengimbangi kekuatan ekspansasi politik PKI pada tahun1960-an, yang kemudian terus berkembang hingga saat ini, dimana fungsi Golkar sama seperti partai politik.

Perkembangan lain dari Golkar yang tadinya Golkar dan ABRI menyatu, karena Golkar dipimpin ABRI aktif, makin lama sudah makin mandiri, dalam arti sudah tidak lagi bersangkut-paut dengan ABRI aktif. Pada perkembangan lebih lanjut Golkar sebagai kekuatan Orde Baru bertekad melaksanakan, mengamalkan, dan melestarikan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, dengan melaksanakan pembangunan di segala bidang menuju tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Perkembangan Golkar pada Orde Baru adalah sebagai kekuatan sosial politik yang merupakan aset bangsa yang selalu komit dengan cita-cita pembangunan nasional. Dalam politik orde baru Golkar merupakan kekuatan sosial politik yang terbesar dengan 4 kali menang dalam pemilihan umum (1971, 1977, 1982, 1992)

3)     Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dibentuk pada tanggal 10 Januari 1973. Pembentukan PDI sebagai hasil fusi dari lima partai politik yang berpaham Nasionalisme, Marhaenisme, Sosialisme, Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Kelima partai politik yang berfusi menjadi PDI adalah PNI, TPKI, Parkindo, Partai Murba, dan Partai Katolik. Dalam sejarah sebagai organisasi sosial politik, PDI sering berhadapan dengan masalah pertentangan/konflik di kalangan pemimpinnya. Pada hakikatnya potensi konflik hanya salah satu masalah yang dihadapi PDI.

Sejumlah masalah yang lain juga dihadapi, seperti masalah identitas partai (khususnya sejak Pancasila ditetapkan sebagai asas tunggal), masalah kemandirian, demokratis di tubuh partai, dan masalah rekruitasi. Dan berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kini sistem kepartaian negara kita telah dalam situasi mantap, di mana ketiga kekuatan sosial politik yang ada, yaitu PPP, Golkar, dan PDI telah menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas.

f.     Partai Politik di Masa Reformasi
Perubahan yang menonjol adalah besarnya peran partai politik dalam pemerintah, keberadaan partai politik sangat erat dengan kiprah para elit politik, mengerahkan massa politik, dan kian mengkristalnya kompetisi memperebutkan sumber daya politik. Hakikat reformasi di Indonesia adalah terampilnya partisipasi penuh kekuatan-kekuatan masyarakat yang disalurkan melalui partai-partai politik sebagai pilar demokrasi. Oleh karena itu tidak heran dengan adanya UU No. 2 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 31 Tahun 2002 yang memungkinkan lahirnya partai-partai baru dalam percaturan kepartaian di Indonesia. Namun dari sekian banyak partai hanya ada 5 partai yang memperoleh suara yang signifikan yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Harapannya adalah dengan kehadiran banyak partai itu jangan sampai justru menambah ruwetnya sistem pemerintahan NKRI. Ruwetnya pemerintahan ini mengakibatkan bangsa Indonesia akan banyak mengalami kendala untuk segera keluar dari krisis multidevresional yang sudah berjalan. Pada pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945 dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Perubahan tersebut bermakna bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetepi dilaksanakan menurut ketentuan UU No. 23. Untuk menindak lanjuti pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945 tersebut dibuatlah UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden Langsung.

Dalam penjelasan antara lain diuraikan bahwa salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan pemilihan umum baik untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang semuanya dilaksanakan menurut Undang-Undang sebagai perwujudan negara hukum dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 6A UUD 1945 menyatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, dan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik gabungan-gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilihan umum“. Presiden dan Wakil Presiden dipilih setiap 5 tahun sekali melalui pemilihan yang dilaksanakan secara Langsung, Umum, Bebas, Rahasia serta Jujur dan Adil, yang diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional tetap dan mandiri.

Suasana Pemilu tahun 1955. Pemilu pertama ini disebut-sebut merupakan pemilu yang paling demokratis/Arsip Nasional :

1)     Tahun 1955
Pemilu pertama di Indonesia dan sering disebut sebagai pemilu yang paling demokratis meski pelaksanaannya saat situasi negara belum kondusif. Tak kurang dari 80 partai politik, organisasi massa, dan puluhan perorangan ikut serta mencalonkan diri.
Dalam pemilu 1955 masyarakat memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante yang dilakukan dalam dua periode. Pertama tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR dan kedua pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante. Saat itu anggota angkatan bersenjata dan polisi ikut berpartisipasi.
Dari pelaksanaannya, pemilu pertama bisa dikatakan sukses dan berlangsung damai. Dimana tingkat partisipasi warga begitu tinggi. Suara sah saat pemilu mencapai 88 persen dari 43 juta pemilih. Sedangkan pemilih yang suaranya tidak sah atau tidak datang (golput) hanya sebesar 12,34 persen.

2)     Tahun 1971
Presiden Soeharto meninjau pelaksanaan Pemilu tahun 1971 di salah satu TPS di Jakarta/Arsip Nasional.
5 Juli 1971 menjadi pemilu kedua yang dilaksanakan dan merupakan Pemilu pertama sesudah orde baru. Dimana saat itu diikuti 10 partai politik dan partai baru golongan karya (golkar) menjadi pemenangnya.

Beberapa parpol pada Pemilu 1955 tak lagi ikut serta karena dibubarkan, seperti Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dalam pelaksanaan Pemilu menggunakan sistem proporsional dengan daftar tertutup dan semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Golkar menang dengan mengantongi 62,8 persen suara (236 kursi DPR). Disusul partai lain seperti Nahdlatul Ulama (NU), Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Banyak perdebatan antara pakar sejarah politik tentang kadar demokrasi dalam pemilu 1971 ini. Karena banyaknya indikator sebuah pemilihan umum demokratis yang tidak terpenuhi atau bahkan ditinggalkan sama sekali.
Hal ini tidak terlepas dari proses transisi kepemimpinan yang diawali oleh peristiwa berdarah yang kemudian membuat politik Indonesia disebut-sebut masuk kedalam sebuah era pretorianisme militer. Sebuah era dimana militer selalu mempunyai peran penting dalam menjaga serta mempertahankan kekuasan. Meski demikian, di pemilu ini, golput yang pertama kali dicetuskan dan dikampanyekan justru mengalami penurunan sekitar 6,67 persen. Semasa pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru), Golkar selalu menjadi pemenang pemilu sejak tahun 1971 sampai 1997

3)     Tahun 1977
Pemilu ke tiga dilakukan pada tanggal 2 Mei 1977. Secara proses tidak berbeda jauh dengan yang digunakan pada pemilu 1971 yaitu menggunkan Sistem Proporsional.
Ciri khas dari pelaksanaan sistem pemilu 1977 ialah jumlah partai yang mengikuti pemilu hanya tiga, yakni PPP, PDI dan golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar.
Dalam penghitungannya, dari 70 Juta lebih pemilih, hampir 64 juta suara yang sah atau sekitar 90,93 persen.

4)     Tahun 1982
Pemilihan Umum tahun 1982 dilakukan serentak tanggal 4 Mei 1982. Sistem dan tujuannya sama dengan tahun 1977, di mana hendak memilih anggota DPR (parlemen).
Hanya saja, komposisinya sedikit berbeda. Sebanyak 364 anggota dipilih langsung oleh rakyat, sementara 96 orang diangkat oleh presiden. Pemilu ini dilakukan berdasarkan Undang-undang No. 2 tahun 1980.
Sementara untuk suara yang sah dalam perhitungan tahun 1982 mencapai 75 Juta lebih. Dimana golkar tetap menjadi pemenangnya.



5)     Tahun 1987
Pemilu berikutnya tahun 1987 yang dilakukan tanggal 23 April 1987. Masih dalam masa orde baru secara sistem dan tujuan pemilihan masih sama dengan pemilu sebelumnya yaitu memilih anggota parlemen.
Total kursi yang tersedia adalah 500 kursi. Dari jumlah ini, 400 dipilih secara langsung dan 100 diangkat oleh Presiden Suharto. Sistem Pemilu yang digunakan sama seperti pemilu sebelumnya, yaitu Proporsional dengan varian Party-List.

6)     Tahun 1992
Pemilu kelima yang dilakukan secara periodik pada pemerintahan Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 9 Juni 1992. Tidak jauh beda dengan pemilu sebelumnya, secara sistem dan tujuan juga masih tetap sama.
Sementara untuk suara yang sah tahun 1992 mencapai 97 Juta lebih suara, dari total pemilih terdaftar 105.565.697 orang.

7)     Tahun 1997
Pemilu 1997 merupakan Pemilu terakhir di masa pemerintahan Presiden Suharto. Pemilu ini diadakan tanggal 29 Mei 1997. Sistem dan tujuan penyelenggaraan pemilu masih sama yakni, Proporsional dengan varian Party-List. Dimana saat itu memilih 424 orang anggota DPR.
Pada tanggal 7 Maret 1997, sebanyak 2.289 kandidat (caleg) telah disetujui untuk bertarung guna memperoleh kursi parlemen.
Pemilu 1997 ini menuai sejumlah protes. Di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa oleh sebab kecurangan Pemilu dianggap sudah keterlaluan dan di tahun ini jumlah suara yang sah hampir 113 Juta suara.
PDIP merupakan partai pemenang Pemilu tahun 1999. Namun pemilihan presiden dimenangkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari PKB. Sementara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri menjadi wakil presiden

8)     Tahun 1999
Pemilu berikutnya tahun 1999 yang sekaligus menjadi Pemilu pertama sesudah runtuhnya orde baru dan dilangsungkan tanggal 7 Juni.
Pemilu ini diadakan di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Terselenggara di bawah sistem politik Demokrasi Liberal. Artinya, jumlah partai peserta tidak lagi dibatasi seperti pemilu-pemilu lalu yang hanya terdiri dari Golkar, PPP, dan PDI.
Jumlah partai yang terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM adalah 141 partai, sementara yang lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 1999 adalah 48 partai.
Tidak seperti pemilu-pemilu sebelumnya, Pemilu 1999 mengalami beberapa hambatan diantaranya dalam proses perhitungan suara, dimana terdapat 27 partai politik yang tidak bersedia menandatangani berkas hasil pemilu 1999. Masalah selanjutnya adalah pembagian kursi.

Perbedaan antara Pemilu 1999 dengan Pemilu 1997 adalah bahwa pada Pemilu 1999 penetapan calon terpilih didasarkan pada rangking perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan.
Contohnya, Caleg A meski berada di urutan terbawah daftar caleg, jika dari daerahnya ia dan partainya mendapatkan suara terbesar, maka dia-lah yang terpilih. Untuk penetapan caleg terpilih berdasarkan perolehan suara di Daerah Tingkat II (kabupaten/kota).
9)     Tahun 2004
Pemilu tahun 2004 merupakan tonggak demokrasi Indonesia karena rakyat memilih langsung anggota DPR dan pasangan Presiden-Wakil Presiden/dokumentasi KPU. Pemilu 2004 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 5 April 2004 untuk memilih 550 Anggota DPR, 128 Anggota DPD, serta Anggota DPRD (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2004-2009.
Sedangkan untuk memilih presiden dan wakil presiden untuk masa bakti 2004-2009 diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004 (putaran I) dan 20 September 2004 (putaran II).
Pemilu 2004 merupakan sejarah tersendiri bagi pemrintahan Indonesia. Dimana untuk pertama kalinya rakyat Indonesia memilih presidennya secara langsung. Sekaligus membuktikan upaya serius mewujudkan sistem pemerintahan Presidensil yang dianut oleh pemerintah Indonesia.
Sistem pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan Daftar Calon Terbuka. Proporsional Daftar adalah sistem pemilihan mengikuti jatah kursi di tiap daerah pemilihan. Jadi, suara yang diperoleh partai-partai politik di tiap daerah selaras dengan kursi yang mereka peroleh di parlemen.
Untuk memilih anggota parlemen, digunakan sistem pemilu Proporsional dengan varian Proporsional Daftar (terbuka). Untuk memilih anggota DPD, digunakan sistem pemilu Lainnya, yaitu Single Non Transverable Vote (SNTV). Sementara untuk memilih presiden, digunakan sistem pemilihan Mayoritas/Pluralitas dengan varian Two Round System (Sistem Dua Putaran).
Pemilu 2004 ini adalah periode pertama kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono. Meski demikian di Pemilu Legislatif jumlah pemilih terdaftar yang tidak memakai hak pilihnya cukup besar yakni sekitar 23 juta lebih suara, dari jumlah pemilih terdaftar 148 Juta pemilih, atau 16 persen tidak memakai hak pilihnya.

10)   Tahun 2009
Pemilu 2009 merupakan pemilu ketiga pada masa reformasi yang diselenggarakan secara serentak pada tanggal 9 April 2009 untuk memilih 560 Anggota DPR, 132 Anggota DPD, serta Anggota DPRD (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2009-2014. Sedangkan untuk memilih presiden dan wakil presiden untuk masa bakti 2009-2014 diselenggarakan pada tanggal 8 Juli 2009 (satu putaran). Pemilu 2009 dilaksanakan menurut Undang-undang Nomor 10 tahun 2008. Jumlah kursi di tiap dapil yang diperebutkan minimal tiga dan maksimal sepuluh kursi. Ketentuan ini berbeda dengan Pemilu 2004.
Pemilu 2009 menjadi periode kedua terpilihnya presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan didampingi Prof. Dr. Boediono sebagai wakil presiden.
Sementara untuk jumlah golput hampir 50 juta suara atau sekitar 30 persen. Jumlah angka golput ini tergolong besar meskipun masih lebih kecil dari hasil survei yang memprediksi angka golput mencapai 40 persen.

11)   Tahun 2014
Pada tahun 2014, seluruh rakyat Indonesia kembali akan melakukan pesta demokrasi terbesar yaitu pemilihan umum untuk menentukan tidak hanya anggota DPR, DPRD Tingkat 1, DPRD Tingkat 2, dan DPD, tetapi juga memilih presiden dan wakil presiden negeri ini. Pemilu legislatif akan dilakukan pada tanggal 09 April 2014 dan pemilu presiden akan dilakukan pada tanggal 09 Juli 2014.

Pemilu Legislatif
Partai Politik Nasional
No. urut
Lambang dan nama partai
1
Partai NasDem.svg
2
Pkb.jpg
3
Contoh Logo Baru PKS.jpg
4
PDIPLogo.png
5
Logo GOLKAR.jpg
6
Gerindra.jpg
7
Democratic Party (Indonesia).svg
8
Partai Amanat Nasional.svg
9
Ppp-logo.jpg
10
HANURA.jpg
14
Bulan Bintang.jpg
15
Logo PKPI.jpg


g.   Empat Partai Baru di Pemilu 2019 dan Kekuatan Pendirinya
Sejumlah ketua Umum partai Politik berfoto bersama ketua KPU usai menerima nomor urut partai di KPU, Jakarta, 18 Februari 2018. Tempo/Fakhri Hermansyah
Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan partai politik yang lolos menjadi peserta Pemilihan Umum atau Pemilu 2019. Dari 16 Partai, 14 dinyatakan lolos dan 4 di antaranya adalah partai baru. Mereka adalah Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Berkarya, dan Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda).

Popularitas empat partai tersebut meroket selama beberapa tahun terakhir. Hal tersebut tidak terlepas dari kekuatan pendirinya yang berasal dari berbagai bidang, di antaranya pengusaha, aktivis, dan jurnalis. Partai baru ini memiliki ide dan strategi tersendiri untuk menarik simpati publik dan mendongkrap suara di Pemilu 2019.

1.      Partai Perindo
Partai Perindo didirikan oleh pengusaha media, MNC Group, Hary Tanoeseodibyo. Awalnya, partai ini dinilai bakal memiliki elektabilitas yang rendah. Hary Tanoe pun tak menyangkalnya. Hary Tanoe menduga elektabilitas Perindo yang masih buruk karena faktor popularitas. Menurut dia, Perindo masih kurang populer di daerah sehingga kader-kadernya harus terus membangunnya lewat berbagai kegiatan di tingkat ranting sampai pusat.

Hary Tanoe kerap menunjukkan sikap yang berseberangan dengan pemerintahan Jokowi – JK. Hal itu ditunjukkan dalam pernyatan-pernyataan politiknya soal revolusi mental hingga kebijakan ekonomi yang dianggapnya tak berpihak pada rakyat. Namun, Hary Tanoesoedibjo telah melakukan manuver politik. Ia menyatakan akan mendukung Jokowi untuk maju dalam Pilpres 2019. "Untuk Pilpres, melihat perkembangan sekarang, Kongres Partai Perindo mendatang akan mengusulkan Pak Jokowi sebagai Calon Presiden 2019," ujar Hary Tanoe.

Hary Tanoe mengatakan, partainya lebih berupaya untuk menggenjot popularitas serta elektabilitas partainya lewat media, terutama televisi. Lewat jaringan MNC, media yang dimilikinya, iklan Partai Perindo hampir tiap saat muncul di televisi.

Selain itu berbagai kegiatan juga dilakukan Perindo, di antaranya adalah bedah rumah, pemberian gerobak cuma-cuma, bantuan kepada petani, bantuan pemuda, pemberitaan di media, juga billboard. Senin, 9 Oktober 2019, Perindo resmi mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk Pemilu 2019 dan selama proses verifikasi tidak mengalami kendala tertentu.

2.      Partai Solidaritas Indonesia (PSI)
PSI didirikan oleh mantan jurnalis televisi, Grace Natalie. Grace Natalie mengaku kesulitan saat pertama kali mendirikan partai politik. "Bukan hal yang mudah mendirikan parpol. Tapi kami bersyukur sebagai satu-satunya parpol baru yang lolos badan hukum," ujar Grace.

Grace mengatakan, modal terbesar dari partainya adalah kreativitas. Ia mengatakan, partainya menawarkan gaya baru dalam berpolitik yang lebih menyasar pada anak muda dan perempuan. Menurut Grace, anak muda dan perempuan lah yang selama ini dianggap kurang terwakili kepentingannya di dunia politik.

Tsamara Amany yang kerap dibicarakan di media sosial juga menjadi pendongkrak popularitas partai ini. Mantan jurnalis Isyana Bagoes Oka, Andy Budiman, serta desainer internasional dari Bali Niluh Djelantik juga aktif dalam menyampaikan visi dan misi dari PSI di media sosial.

Grace mengaku partainya mendapatkan sokongan dana dari berbagai pengusaha kelas menengah. Selain itu, pertainya juga menggalang dana dari publik dengan mengeluarkan satu kartu bernama Kartu Sakti atau Solidaritas Antikorupsi dan Intoleransi.

3.      Partai Berkarya
Partai Berkarya digagas oleh putra mantan presiden RI Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto. Berdiri tahun 2016, partai ini mendaftarkan ke KPU sebagai peserta Pemilu pada 13 Oktober 2017. Partai Berkarya didominasi oleh mantan kader Partai Golongan Karya atau Golkar. Namun, Tommy mengatakan, Partai Berkarya bukan pecahan Partai Golkar dan didirikan bukan karena sakit hati dengan Golkar. "Tapi kita ingin semangat Berkarya zaman Orde Baru kembali muncul,"ujarnya.

Partai ini menjadikan figur Presiden Indonesia kedua Soeharto sebagai roh partai. Tommy mengatakan, banyak orang merindukan figur Pak Harto yang tidak membedakan suku,ras,agama dan mengutamakan persatuan dan nasionalisme.

Sebelumnya, KPU menyatakan Partai Berkarya tak lolos ke tahap verifikasi faktual. Sebab, Partai itu tidak bisa memenuhi syarat batas minimal keanggotaan di kabupaten/kota sebanyak seribu orang atau satu per seribu dari jumlah penduduk. Namun, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menganulir keputusan tersebut dan menyatakan keputusan KPU tidak sah.

Sekretaris Jenderal Badarudin Andy Picunang mengatakan optimistis menghadapi Pemilu 2019 dan mendudukkan wakil di parlemen. "Apalagi ada Mas Tommy Soeharto dan ahli strategi Mayjen Muchdi Pr, kami yakin Partai Berkarya menjadi peserta Pemilu 2019," ujar dia.

4.      Partai Garuda
Partai Garuda (Gerakan Perubahan Indonesia) dideklarasikan pada 16 April 2015. Partai ini mendaftarkan diri sebagai peserta Pemilihan Umum 2019 pada 15 Oktober 2017. Ketua Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana mengakui partainya belum banyak diketahui orang. "Partai ini mungkin belum pernah terdengar karena gerakan kami silent, kami enggak pengen gembar-gembor," kata Ridha.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Partai Garuda Abdullah Mansyuri mengatakan partainya bergerak dengan jaringan anggota yang berada di daerah. "Kami mencoba setenang mungkin. Bergerak semampu kami dan menggerakkan jaringan yang kami punya," ujarnya.

Abdullah Mansyuri mengatakan, partainya akan berusaha semaksimal mungkin untuk memenangkan hati rakyat dalam Pemilu 2019. Ia mengatakan, sebagai partai baru, partainya akan mengajak anak-anak muda untuk bergabung. Anak muda, menurut dia, dianggap lebih mandiri dan memiliki niatan luhur untuk memperbaiki kondisi negeri.

Tidak ada komentar: